Amanat Pembina Upacara Hari Santri 2018
Amanat pembina upacara dalam upacara peringatan Hari Santri Nasional (HSN) Tahun 2018 biasanya menjadi materi yang wajib tersedia dalam pelaksanaan upacara HSN di banyak sekali daerah. Sebagaimana diketahui, semarak Hari Santri yang puncaknya diperingati pada tanggal 22 Oktober terjadi di pelbagai tempat dengan banyak sekali kegiatan. Salah satunya yakni dengan menggelar upacara bendera atau sekedar apel peringatan Hari Santri.
Pada peringatan Hari Santri di tahun 2018 yang mengambil tema "Bersama Santri Damailah Negeri" (baca: Tema Hari Santri 2018), dua forum telah menyiapkan teks amanat pembina upacara. Pertama yakni Kementerian Agama dengan Amanat Menteri Agama Pada Upacara Hari Santri dan kedua yakni Ketua PBNU dengan Amanat Ketua Umum PBNU Pada Peringatan Hari Santri.
Kedua teks sambutan atau amanat pembina (inspektur) upacara pada upacara peringatan Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2018 tersebut sanggup diunduh di cuilan final artikel ini.
Amanat Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin, pada upacara Hari santri 22 Oktober 2018 yakni sebagai berikut:
AMANAT MENTERI AGAMA Rl
PADA UPACARA HARI SANTRI 22 OKTOBER 2018
Assalamu alaikum wr. wb.
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW.
Saudara-saudara peserta upacara yang berbahagia,
Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 wacana Hari Santri merupakan babak gres dalam sejarah umat Islam Indonesia. Mulai hari itu, kita dengan suka cita memperingati Hari Santri yang merupakan wujud korelasi harmoni antara pemerintah dan umat Islam, khususnya bagi kalangan kaum santri.
Selama ini kalender pemerintah yang memakai hitungan Masehi selalu mencantumkan tanggal merah ketika bertepatan dengan 1 Hijriyah sebagai Tahun Baru Islam. Tanggal itu memperingati insiden hijrah Nabi Muhammad SAW yang mempertemukan dua kelompok umat Islam, kaum Muhajirin dari Mekkah dan kaum Anshar sebagai penghuni Madinah. Penduduk Madinah atau kaum Anshar tidak mempersoalkan momentum itu disebut Hijriyah yang identik dengan kaum Muhajirin.
Justru sebaliknya, momentum itu membuahkan persaudaraan dan persahabatan yang sangat bersejarah bagi umat Islam, sehingga kedua pihak saling berkontribusi membangun masyarakat madani yang kemudian menjadi tumpuan ideal peradaban dunia.
Belajar dari sejarah itulah, pemerintah sudah sepatutnya memperlihatkan apresiasi bagi usaha kaum santri yang secara kasatmata memperlihatkan andil besar bagi terbentuk dan terjaganya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh sebab itu, peringatan Hari Santri harus dimaknai sebagai upaya memperkokoh segenap umat beragama biar saling berkontribusi mewujudkan masyarakat Indonesia yang bermartabat, berkemajuan, berkesejahteraan, berkemakmuran, dan berkeadilan.
Kalangan pesantren dalam hal ini yakni para kiai, santri dan elemen umat Islam yang mencar ilmu kepada orang-orang pesantren diperlukan oleh segenap bangsa Indonesia untuk mencurahkan energinya dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan masyarakat di tengah situasi dikala ini yang penuh dengan banyak sekali fitnah.
Berkaca pada sejarah, Hari Santri merujuk pada keluarnya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang memantik terjadinya insiden heroik 10 November 1945 di Surabaya yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Resolusi Jihad yakni permintaan ulama-santri yang mewajibkan setiap muslim Indonesia untuk membela kedaulatan Tanah Air dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada kenyataannya, Resolusi Jihad itu telah melebur sekat-sekat antara kelompok agamis, nasionalis, sosialis, dan seterusnya di kalangan bangsa Indonesia yang bermacam-macam latar belakang. Resolusi Jihad telah menyeimbangkan spiritualitas individu yang bersifat vertikal (hablun minallah) dengan kepentingan bersama yang bersifat horizontal (hablun minannas) melalui fatwa ulama yang mendudukkan nasionalisme sebagai cuilan dari perilaku religius.
Saudara-saudara peserta upacara yang berbahagia,
Melalui upacara bendera Hari Santri kali ini, saya ingin memberikan bahwa Kementerian Agama pada peringatan tahun 2018 ini mengusung tema Bersama Santri Damailah Negeri' . Isu perdamaian diangkat sebagai respon atas kondisi bangsa Indonesia yang dikala ini sedang menghadapi banyak sekali persoalan, menyerupai maraknya hoaks, ujaran kebencian, polarisasi simpatisan politik, propaganda kekerasan, sampai terorisme.
Hari Santri tahun ini merupakan momentum untuk mempertegas tugas santri sebagai pionir perdamaian yang berorientasi pada spirit moderasi Islam di Indonesia. Dengan aksara kalangan pesantren yang moderat, toleran, dan komitmen cinta tanah air, diperlukan para santri semakin vokal untuk menyuarakan dan meneladankan hidup tenang serta menekan lahirnya konflik di tengah-tengah keragaman masyarakat. Marilah kita tebarkan kedamaian, kapanpun, dimanapun, kepada siapapun.
Selamat Hari Santri 22 Oktober 2018
Bersama Santri Damailah Negeri
Wassalamu alaikum wr. wb.
Jakarta, 22 Oktober 2018
Menteri Agama Rl
Lukman Hakim Saifuddin
Untuk mengunduh Amanat Menteri Agama RI pada upacara Hari Santri 22 Oktober 2018, sila KLIK DI SINI.
Baca juga:
Berikut yakni amanat Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA., pada peringatan Hari Santri 2018.
AMANAT KETUA UMUM PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA PADA PERINGATAN HARI SANTRI TANGGAL 22 OKTOBER 2018
السالم عليكم ورحمة هللا وبركاته
بسم هللا الحمد هلل الصالة والسالم على سيدنا وموالنا وحبيبنا وشفيعنا محمد رسول هللا
وعلى اله وصحابته ومن تبع سنته وجماعته من يومنا هذا الى يوم النهضة
أما بعد
Hari ini 4 tahun lalu, Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo menerbitkan keputusan bersejarah. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tanggal 22 Oktober 2015 wacana Hari Santri. Keputusan yang bertepatan dengan tanggal 9 Muharram 1437 Hijriyah itu merupakan bukti pengukuhan negara atas jasa para ulama dan santri dalam usaha merebut, mengawal, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. Itulah mengapa Keluarga Besar Nahdlatul Ulama dan seluruh rakyat Indonesia dikala ini mengekspresikan rasa syukur dengan memperingati Hari Santri.
Pengakuan terhadap kiprah ulama dan santri tidak lepas dari Resolusi Jihad yang dikumandangkan Hadlaratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama, pada 22 Oktober 1945. Di hadapan konsul-konsul Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura, di Kantor Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama, Jl. Boeboetan VI/2 Soerabaja, Fatwa Resolusi Jihad NU digaungkan Hadlaratus Syeikh dengan pidato yang menggetarkan:
“...Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak bulat 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak bulat tadi, kewadjiban itoe djadi fardloe kifayah (jang tjoekoep kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…).”
Tanpa Resolusi Jihad NU dan pidato Hadlaratus Syeikh itu, tidak akan pernah ada insiden heroik perlawanan rakyat tanggal 10 November di Surabaya yang kelak dikenal dan diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Kiprah santri teruji dalam mengokohkan pilar-pilar NKRI menurut Pancasila dan bersendikan Bhinneka Tunggal Ika. Santri berdiri di garda depan membentengi NKRI dari banyak sekali ancaman. Tahun 1936, sebelum Indonesia merdeka, kaum santri menyatakan Nusantara sebagai Dârus Salâm. Pernyataan ini yakni legitimasi fikih berdirinya NKRI menurut Pancasila. Tahun 1945,
demi persatuan dan kesatuan bangsa kaum santri baiklah menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Tahun 1953, kaum santri memberi gelar Presiden Indonesia Ir. Soekarno sebagai Waliyyul Amri ad-Dlarûri bis Syaukah, pemimpin sah yang harus ditaati dan menyebut para pemberontak DI/TII sebagai bughat yang harus diperangi. Tahun 1965, kaum santri berdiri di garda depan menghadapi rongrongan ideologi komunisme. Tahun 1983/1984, kaum santri memelopori penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa-bernegara dan menyatakan bahwa NKRI sudah final sebagai konsensus nasional (mu’âhadah wathaniyyah). Selepas Reformasi, kaum santri menjadi bandul kekuataan moderat sehingga perubahan konstitusi tidak melenceng dari khittah 1945 bahwa NKRI yakni negara-bangsa, —bukan negara agama, bukan negara suku— yang mengakui seluruh warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama di hadapan konstitusi, tanpa diskriminasi menurut suku, ras, agama, dan golongan.
Untuk menginsyafkan semua pihak dan mengingatkan kita sendiri selaku kaum santri, kenyataan itu perlu diungkapkan: betapa besar saham kaum santri dalam proses berdiri dan tegaknya NKRI. Tanpa kiprah kaum santri, dengan perilaku sosialnya yang moderat (tawassuth), toleran (tasâmuh), proporsional (tawâzun), lurus (i’tidâl), dan masuk akal (iqtishâd), NKRI belum tentu eksis sampai hari ini. Negeri-negeri Muslim di Timur Tengah dan Afrika kini remuk dan porak poranda sebab ekstremisme dan ketiadaan komunitas penyangga aliran Islam wasathiyyah.
Momentum Hari Santri hari ini perlu ditransformasikan menjadi gerakan penguatan paham kebangsaan yang bersintesis dengan keagamaan. Spirit “nasionalisme cuilan dari iman” (االيمان من الوطن حب) perlu terus digelorakan di tengah arus ideologi fundamentalisme agama yang mempertentangkan Islam dan nasionalisme. Islam dan ajarannya tidak sanggup dilaksanakan tanpa tanah air. Mencintai agama tidak mungkin tanpa berpijak di atas tanah air, sebab itu Islam harus bersanding dengan paham kebangsaan. Hari Santri juga harus digunakan sebagai revitalisasi etos moral kesederhaan, asketisme dan spiritualisme yang menempel sebagai aksara kaum santri. Etos ini penting di tengah merebaknya korupsi, narkoba, LGBT dan hoax yang mengancam masa depan bangsa.
Hari ini santri juga hidup di tengah masa digital. Internet yakni bingkisan kecil dari kemajuan nalar yang menghubungkan insan sejagat dalam dunia maya. Ia punya aspek manfaat dan mudharat yang sama besar. Internet sanggup digunakan untuk menebarkan pesan-pesan kebaikan dan dakwah Islam, tetapi juga sanggup digunakan untuk merusak harga diri dan martabat kemanusiaan dengan ujaran kebencian, fitnah dan hoax. Santri perlu ‘memperalat’ teknologi isu sebagai media dakwah dan sarana membuatkan kebaikan dan kemaslahatan serta mereduksi penggunaannya yang tidak sejalan dengan upaya untuk menjaga agama (والعقل الدين حفظ), jiwa (النفس حفظ), nalar (العقل حفظ), harta (المال حفظ), keluarga (النسل حفظ), dan martabat (العرض حفظ) seseorang. Kaedah fikih: al- muhâfadhah ala-l qadîmis shâlih wa-l akhdzu bi-l jadîdi-l ashlah senantiasa relevan sebagai bekal kaum santri menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.
Singkatnya, santri harus siap mengemban amanat yang sangat berat, namun mulia: yaitu amanah agama dan tanah air. Juga amanah kalimatul haq. Berani menyampaikan “iya” terhadap kebenaran walaupun semua orang menyampaikan “tidak” dan sanggup menyatakan “tidak” pada kebatilan walaupun semua orang menyampaikan “iya”. Itulah aksara dasar santri sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzaab ayat 72 yang bumi, langit dan gunung tidak berani memikulnya.
“Sesungguhnya Kami telah amanatkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya insan itu amat zalim dan amat bodoh.”
Alhamdulillah, selama ini santri sanggup mengemban amanat ini. Terbukti, walaupun Mbah Hasyim Asy’ari disiksa Jepang untuk hormat ke arah matahari terbit (seikerei), dia tegas menolak. Kyai Wahid Hasyim sampai Gus Dur juga demikian, selalu menyatakan kalimatul haq, tidak pernah tergiur dengan godaan duniawi apapun.
Allah berfirman dalam Q.S. Al-Fathiir ayat 5:
“Hai manusia, bekerjsama akad Allah yakni benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kau dan sekali-kali janganlah syaitan yang pintar menipu, memperdayakan kau wacana Allah.”
Khusus untuk anak-anakku para Santri yang dikala ini turut larut dalam kegembiraan perayaan Hari Santri, kalian yakni cuilan penting sejarah perubahan bangsa Indonesia mendatang. Nikmati kesederhanaan hidup di Pesantren, meskipun makan dengan lauk seadanya dan sehari-hari mengenakan sarung dan sandal jepit. Sebab, tempaan yang kalian terima di pesantren akan menjadi cuilan penting sejarah hidup kalian untuk menjadi langsung yang mandiri, berempati dan berkarakter. Suatu langsung yang dibutuhkan dalam penegakan agama, pengelolaan bangsa dan negara
Akhirnya, mewakili santri se-nusantara, saya Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama memberikan terima kasih kepada Presiden Ir. H. Joko Widodo yang sudah memutuskan hari santri sebagai hari nasional.
Saya tegaskan, penetapan hari santri bukan intervensi pemerintah terhadap pesantren. Tetapi merupakan bentuk penghargaan kepada santri dan kaum pesantren yang terus menanamkan keluhuran adab dan kemandirian sebagai jati dirinya, sehingga membentuk aksara bangsa.
Peringatan Hari Santri tahun 2018 ini juga terasa begitu istimewa. Karena seiring peringatan hari santri tahun ke-empat ini ditetapkan RUU wacana Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sebagai RUU usul inisiatif DPR. Penetapan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini kita nilai sebagai berkah dan karunia agung dari Allah SWT. Nahdlatul Ulama bersyukur dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berjuang melahirkan rancangan undang-undang ini di DPR.
Akhirnya, mari kita berjuang bersama. Agar santri tidak hanya menjadi shoutul haq, melainkan sekaligus menjadi qororul haq (pemegang kebijakan).
Selamat Hari Santri 2018. Terima kasih Presiden Jokowi.
شكرا ودمتم في الخير والبركة والنجاح وهللا الموفق إلى أقوم الطريق
والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته
Jakarta, 22 Oktober 2018
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,
Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA.
Ketua Umum
Untuk mengunduh amanat Ketua Umum PBNU pada peringatan Hari Santri Tanggal 22 Oktober 2018, sila KLIK DI SINI.
Itulah kedua sambutan atau amanat pembina upacara (inspektur upacara) peringatan Hari Santri Nasional Tahun 2018. Memilih amanat pembina upacara Hari Santri versi Menteri Agama RI atau amanat Ketum PBNU sah-sah saja sesuai dengan selera.
Pada peringatan Hari Santri di tahun 2018 yang mengambil tema "Bersama Santri Damailah Negeri" (baca: Tema Hari Santri 2018), dua forum telah menyiapkan teks amanat pembina upacara. Pertama yakni Kementerian Agama dengan Amanat Menteri Agama Pada Upacara Hari Santri dan kedua yakni Ketua PBNU dengan Amanat Ketua Umum PBNU Pada Peringatan Hari Santri.
Kedua teks sambutan atau amanat pembina (inspektur) upacara pada upacara peringatan Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2018 tersebut sanggup diunduh di cuilan final artikel ini.
1. Amanat Menteri Agama RI Pada Upacara Hari Santri 22 Oktober 2018
Amanat Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin, pada upacara Hari santri 22 Oktober 2018 yakni sebagai berikut:
AMANAT MENTERI AGAMA Rl
PADA UPACARA HARI SANTRI 22 OKTOBER 2018
Assalamu alaikum wr. wb.
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW.
Saudara-saudara peserta upacara yang berbahagia,
Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 wacana Hari Santri merupakan babak gres dalam sejarah umat Islam Indonesia. Mulai hari itu, kita dengan suka cita memperingati Hari Santri yang merupakan wujud korelasi harmoni antara pemerintah dan umat Islam, khususnya bagi kalangan kaum santri.
Selama ini kalender pemerintah yang memakai hitungan Masehi selalu mencantumkan tanggal merah ketika bertepatan dengan 1 Hijriyah sebagai Tahun Baru Islam. Tanggal itu memperingati insiden hijrah Nabi Muhammad SAW yang mempertemukan dua kelompok umat Islam, kaum Muhajirin dari Mekkah dan kaum Anshar sebagai penghuni Madinah. Penduduk Madinah atau kaum Anshar tidak mempersoalkan momentum itu disebut Hijriyah yang identik dengan kaum Muhajirin.
Justru sebaliknya, momentum itu membuahkan persaudaraan dan persahabatan yang sangat bersejarah bagi umat Islam, sehingga kedua pihak saling berkontribusi membangun masyarakat madani yang kemudian menjadi tumpuan ideal peradaban dunia.
Belajar dari sejarah itulah, pemerintah sudah sepatutnya memperlihatkan apresiasi bagi usaha kaum santri yang secara kasatmata memperlihatkan andil besar bagi terbentuk dan terjaganya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh sebab itu, peringatan Hari Santri harus dimaknai sebagai upaya memperkokoh segenap umat beragama biar saling berkontribusi mewujudkan masyarakat Indonesia yang bermartabat, berkemajuan, berkesejahteraan, berkemakmuran, dan berkeadilan.
Kalangan pesantren dalam hal ini yakni para kiai, santri dan elemen umat Islam yang mencar ilmu kepada orang-orang pesantren diperlukan oleh segenap bangsa Indonesia untuk mencurahkan energinya dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan masyarakat di tengah situasi dikala ini yang penuh dengan banyak sekali fitnah.
Berkaca pada sejarah, Hari Santri merujuk pada keluarnya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang memantik terjadinya insiden heroik 10 November 1945 di Surabaya yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Resolusi Jihad yakni permintaan ulama-santri yang mewajibkan setiap muslim Indonesia untuk membela kedaulatan Tanah Air dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada kenyataannya, Resolusi Jihad itu telah melebur sekat-sekat antara kelompok agamis, nasionalis, sosialis, dan seterusnya di kalangan bangsa Indonesia yang bermacam-macam latar belakang. Resolusi Jihad telah menyeimbangkan spiritualitas individu yang bersifat vertikal (hablun minallah) dengan kepentingan bersama yang bersifat horizontal (hablun minannas) melalui fatwa ulama yang mendudukkan nasionalisme sebagai cuilan dari perilaku religius.
Saudara-saudara peserta upacara yang berbahagia,
Melalui upacara bendera Hari Santri kali ini, saya ingin memberikan bahwa Kementerian Agama pada peringatan tahun 2018 ini mengusung tema Bersama Santri Damailah Negeri' . Isu perdamaian diangkat sebagai respon atas kondisi bangsa Indonesia yang dikala ini sedang menghadapi banyak sekali persoalan, menyerupai maraknya hoaks, ujaran kebencian, polarisasi simpatisan politik, propaganda kekerasan, sampai terorisme.
Hari Santri tahun ini merupakan momentum untuk mempertegas tugas santri sebagai pionir perdamaian yang berorientasi pada spirit moderasi Islam di Indonesia. Dengan aksara kalangan pesantren yang moderat, toleran, dan komitmen cinta tanah air, diperlukan para santri semakin vokal untuk menyuarakan dan meneladankan hidup tenang serta menekan lahirnya konflik di tengah-tengah keragaman masyarakat. Marilah kita tebarkan kedamaian, kapanpun, dimanapun, kepada siapapun.
Selamat Hari Santri 22 Oktober 2018
Bersama Santri Damailah Negeri
Wassalamu alaikum wr. wb.
Jakarta, 22 Oktober 2018
Menteri Agama Rl
Lukman Hakim Saifuddin
Untuk mengunduh Amanat Menteri Agama RI pada upacara Hari Santri 22 Oktober 2018, sila KLIK DI SINI.
Baca juga:
- Kumpulan Bingkai Foto Profil Hari Santri 2018
- Spanduk dan Baliho Hari Santri Nasional 2018
- Susunan Acara Upacara dan Sambutan Pembina Hari Santri Nasional
2. Amanat Ketua Umum PBNU Pada Peringatan Hari Santri Tanggal 22 Oktober 2018
Berikut yakni amanat Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA., pada peringatan Hari Santri 2018.
AMANAT KETUA UMUM PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA PADA PERINGATAN HARI SANTRI TANGGAL 22 OKTOBER 2018
السالم عليكم ورحمة هللا وبركاته
بسم هللا الحمد هلل الصالة والسالم على سيدنا وموالنا وحبيبنا وشفيعنا محمد رسول هللا
وعلى اله وصحابته ومن تبع سنته وجماعته من يومنا هذا الى يوم النهضة
أما بعد
Hari ini 4 tahun lalu, Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo menerbitkan keputusan bersejarah. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tanggal 22 Oktober 2015 wacana Hari Santri. Keputusan yang bertepatan dengan tanggal 9 Muharram 1437 Hijriyah itu merupakan bukti pengukuhan negara atas jasa para ulama dan santri dalam usaha merebut, mengawal, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. Itulah mengapa Keluarga Besar Nahdlatul Ulama dan seluruh rakyat Indonesia dikala ini mengekspresikan rasa syukur dengan memperingati Hari Santri.
Pengakuan terhadap kiprah ulama dan santri tidak lepas dari Resolusi Jihad yang dikumandangkan Hadlaratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama, pada 22 Oktober 1945. Di hadapan konsul-konsul Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura, di Kantor Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama, Jl. Boeboetan VI/2 Soerabaja, Fatwa Resolusi Jihad NU digaungkan Hadlaratus Syeikh dengan pidato yang menggetarkan:
“...Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak bulat 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak bulat tadi, kewadjiban itoe djadi fardloe kifayah (jang tjoekoep kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…).”
Tanpa Resolusi Jihad NU dan pidato Hadlaratus Syeikh itu, tidak akan pernah ada insiden heroik perlawanan rakyat tanggal 10 November di Surabaya yang kelak dikenal dan diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Kiprah santri teruji dalam mengokohkan pilar-pilar NKRI menurut Pancasila dan bersendikan Bhinneka Tunggal Ika. Santri berdiri di garda depan membentengi NKRI dari banyak sekali ancaman. Tahun 1936, sebelum Indonesia merdeka, kaum santri menyatakan Nusantara sebagai Dârus Salâm. Pernyataan ini yakni legitimasi fikih berdirinya NKRI menurut Pancasila. Tahun 1945,
demi persatuan dan kesatuan bangsa kaum santri baiklah menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Tahun 1953, kaum santri memberi gelar Presiden Indonesia Ir. Soekarno sebagai Waliyyul Amri ad-Dlarûri bis Syaukah, pemimpin sah yang harus ditaati dan menyebut para pemberontak DI/TII sebagai bughat yang harus diperangi. Tahun 1965, kaum santri berdiri di garda depan menghadapi rongrongan ideologi komunisme. Tahun 1983/1984, kaum santri memelopori penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa-bernegara dan menyatakan bahwa NKRI sudah final sebagai konsensus nasional (mu’âhadah wathaniyyah). Selepas Reformasi, kaum santri menjadi bandul kekuataan moderat sehingga perubahan konstitusi tidak melenceng dari khittah 1945 bahwa NKRI yakni negara-bangsa, —bukan negara agama, bukan negara suku— yang mengakui seluruh warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama di hadapan konstitusi, tanpa diskriminasi menurut suku, ras, agama, dan golongan.
Untuk menginsyafkan semua pihak dan mengingatkan kita sendiri selaku kaum santri, kenyataan itu perlu diungkapkan: betapa besar saham kaum santri dalam proses berdiri dan tegaknya NKRI. Tanpa kiprah kaum santri, dengan perilaku sosialnya yang moderat (tawassuth), toleran (tasâmuh), proporsional (tawâzun), lurus (i’tidâl), dan masuk akal (iqtishâd), NKRI belum tentu eksis sampai hari ini. Negeri-negeri Muslim di Timur Tengah dan Afrika kini remuk dan porak poranda sebab ekstremisme dan ketiadaan komunitas penyangga aliran Islam wasathiyyah.
Momentum Hari Santri hari ini perlu ditransformasikan menjadi gerakan penguatan paham kebangsaan yang bersintesis dengan keagamaan. Spirit “nasionalisme cuilan dari iman” (االيمان من الوطن حب) perlu terus digelorakan di tengah arus ideologi fundamentalisme agama yang mempertentangkan Islam dan nasionalisme. Islam dan ajarannya tidak sanggup dilaksanakan tanpa tanah air. Mencintai agama tidak mungkin tanpa berpijak di atas tanah air, sebab itu Islam harus bersanding dengan paham kebangsaan. Hari Santri juga harus digunakan sebagai revitalisasi etos moral kesederhaan, asketisme dan spiritualisme yang menempel sebagai aksara kaum santri. Etos ini penting di tengah merebaknya korupsi, narkoba, LGBT dan hoax yang mengancam masa depan bangsa.
Hari ini santri juga hidup di tengah masa digital. Internet yakni bingkisan kecil dari kemajuan nalar yang menghubungkan insan sejagat dalam dunia maya. Ia punya aspek manfaat dan mudharat yang sama besar. Internet sanggup digunakan untuk menebarkan pesan-pesan kebaikan dan dakwah Islam, tetapi juga sanggup digunakan untuk merusak harga diri dan martabat kemanusiaan dengan ujaran kebencian, fitnah dan hoax. Santri perlu ‘memperalat’ teknologi isu sebagai media dakwah dan sarana membuatkan kebaikan dan kemaslahatan serta mereduksi penggunaannya yang tidak sejalan dengan upaya untuk menjaga agama (والعقل الدين حفظ), jiwa (النفس حفظ), nalar (العقل حفظ), harta (المال حفظ), keluarga (النسل حفظ), dan martabat (العرض حفظ) seseorang. Kaedah fikih: al- muhâfadhah ala-l qadîmis shâlih wa-l akhdzu bi-l jadîdi-l ashlah senantiasa relevan sebagai bekal kaum santri menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.
Singkatnya, santri harus siap mengemban amanat yang sangat berat, namun mulia: yaitu amanah agama dan tanah air. Juga amanah kalimatul haq. Berani menyampaikan “iya” terhadap kebenaran walaupun semua orang menyampaikan “tidak” dan sanggup menyatakan “tidak” pada kebatilan walaupun semua orang menyampaikan “iya”. Itulah aksara dasar santri sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzaab ayat 72 yang bumi, langit dan gunung tidak berani memikulnya.
إِنَّا عَرَضۡنَا ٱلۡأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱلۡجِبَالِ فَأَبَيۡنَ أَن يَحۡمِلۡنَهَا وَأَشۡفَقۡنَ مِنۡهَا وَحَمَلَهَا ٱلۡإِنسَٰنُۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومٗا جَهُولٗا ٧٢
“Sesungguhnya Kami telah amanatkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya insan itu amat zalim dan amat bodoh.”
Alhamdulillah, selama ini santri sanggup mengemban amanat ini. Terbukti, walaupun Mbah Hasyim Asy’ari disiksa Jepang untuk hormat ke arah matahari terbit (seikerei), dia tegas menolak. Kyai Wahid Hasyim sampai Gus Dur juga demikian, selalu menyatakan kalimatul haq, tidak pernah tergiur dengan godaan duniawi apapun.
Allah berfirman dalam Q.S. Al-Fathiir ayat 5:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقّٞۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِٱللَّهِ ٱلۡغَرُورُ
“Hai manusia, bekerjsama akad Allah yakni benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kau dan sekali-kali janganlah syaitan yang pintar menipu, memperdayakan kau wacana Allah.”
Khusus untuk anak-anakku para Santri yang dikala ini turut larut dalam kegembiraan perayaan Hari Santri, kalian yakni cuilan penting sejarah perubahan bangsa Indonesia mendatang. Nikmati kesederhanaan hidup di Pesantren, meskipun makan dengan lauk seadanya dan sehari-hari mengenakan sarung dan sandal jepit. Sebab, tempaan yang kalian terima di pesantren akan menjadi cuilan penting sejarah hidup kalian untuk menjadi langsung yang mandiri, berempati dan berkarakter. Suatu langsung yang dibutuhkan dalam penegakan agama, pengelolaan bangsa dan negara
Akhirnya, mewakili santri se-nusantara, saya Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama memberikan terima kasih kepada Presiden Ir. H. Joko Widodo yang sudah memutuskan hari santri sebagai hari nasional.
Saya tegaskan, penetapan hari santri bukan intervensi pemerintah terhadap pesantren. Tetapi merupakan bentuk penghargaan kepada santri dan kaum pesantren yang terus menanamkan keluhuran adab dan kemandirian sebagai jati dirinya, sehingga membentuk aksara bangsa.
Peringatan Hari Santri tahun 2018 ini juga terasa begitu istimewa. Karena seiring peringatan hari santri tahun ke-empat ini ditetapkan RUU wacana Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sebagai RUU usul inisiatif DPR. Penetapan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini kita nilai sebagai berkah dan karunia agung dari Allah SWT. Nahdlatul Ulama bersyukur dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berjuang melahirkan rancangan undang-undang ini di DPR.
Akhirnya, mari kita berjuang bersama. Agar santri tidak hanya menjadi shoutul haq, melainkan sekaligus menjadi qororul haq (pemegang kebijakan).
Selamat Hari Santri 2018. Terima kasih Presiden Jokowi.
شكرا ودمتم في الخير والبركة والنجاح وهللا الموفق إلى أقوم الطريق
والسالم عليكم ورحمة هللا وبركاته
Jakarta, 22 Oktober 2018
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,
Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA.
Ketua Umum
Itulah kedua sambutan atau amanat pembina upacara (inspektur upacara) peringatan Hari Santri Nasional Tahun 2018. Memilih amanat pembina upacara Hari Santri versi Menteri Agama RI atau amanat Ketum PBNU sah-sah saja sesuai dengan selera.
Amanat Pembina Upacara Hari Santri 2018
Reviewed by AN
on
9:37 am
Rating:
No comments: